Mungkin kalau mendarat di sawah atau mencoba meneruskan sisa luncuran pesawat ke Yogyakarta, kota tujuannya, atau berusaha mendarat darurat di Kota Solo, cerita Flight GA-421 Boeing 737-300 Garuda Indonesia akan lain. Justru karena Captain-in-command Abdul Rozaq memutuskan ditching di Sungai Bengawan Solo, 99 persen jiwa penumpang GA-421 terselamatkan.
Saya buat sungai (Bengawan Solo) seolah-olah runway-nya,” cerita captain asal Kudus, Jawa Tengah, 29 Maret mendatang akan genap 46 tahun kepada wartawan Angkasa Dudi Sudibyo, tentang penerbangan dramatis-traumatis Ampenan-Yogyakarta-Jakarta yang tak sempat ia tuntaskan, enam hari setelah kejadiannya. Rabu sore 16 Januari 2002 sekitar pukul 16.25 WIB, warga sekitar sungai dikejutkan oleh kehadiran tiba-tiba sosok Boeing 737 yang mendarat di sungai.
Badan pesawat intact utuh! Keutuhan tubuh pesawat itulah yang membuat empat awak pesawat dan 54 penumpang, termasuk tiga bayi terselamatkan. Hanya seorang pramugari, Santi Anggraeni (26) yang sudah mengantungi 4.156 jam terbang sejak direkrut Garuda Desember 1995, tewas akibat tersedot keluar badan pesawat bersama jump seat-nya. Akibat impak cukup keras antara bagian bawah perut belakang pesawat dengan air dimana kebetulan ada benda (diperkirakan batu besar), merobek bagian tersebut. Sekejab tiba-tiba tekanan udara hilang dalam kabin pesawat. Perubahan mendadak itu, menyedot keluar Santi. Pantry maupun barang dalam ruang kargo ikut pula tersedot keluar. Jenazah Santi ditemukan sekitar 1 kilometer dari lokasi pesawat.
Sebelum ditching di Sungai Bengawan Solo, Captain Abdul Rozaq, lulusan LPPU Curug Batch 28 1980, membuat dua kali circuit sebelum mendaratkan pesawat. “Pada usaha pertama (mendarat), saya lihat tidak saja dua tapi ada beberapa jembatan di sungai itu. Ada (bagian sungai) yang lurus antara dua jembatan, kira-kira panjangnya 1.500 meter. Itulah yang saya jadikan tempat pendaratan,” ujar suami Istiqomah, pramugari Garuda satu course di Kemayoran, yang disuntingnya sekitar18 tahun silam. Mereka dikaruniai lima anak. Anak sulung, 17 tahun, ikut jejak ayahnya (SMP Islam Al Ma;ruf, Kudus, Jateng 1973) mengikuti pendidikan di salah satu pesantren di Bogor. Yang bungsu baru 15 bulan.
Menurut pengakuan Abdul Rozaq yang telah membukukan 14.020 jam dan 30 menit jam terbang dimana 5.600 jam di antaranya pada pesawat Boeing 737-300, kemudi pesawat amat berat dan ia telah mempersiapkan diri agar tidak terkena kemudinya itu sewaktu pendaratan. Rupanya Heriyadi Gunawan dengan side-burn (cambang rambut) mirip penyanyi tenar Elvis Presley, kurang siap sehingga mulutnya dibuat memar terkena alat tersebut. Flap maupun roda pendarat tidak pula digunakan. “Khawatir kalau roda diturunkan, selain drag, juga kemungkinan terkena batu sungai akan menjadi lebih fatal nanti,” alasannya.
Sesuai prosedur, Rozaq mencurahkan konsentrasi mengemudikan dan mendaratkan pesawat 80 ton itu sejak mesin pesawat flame out sekitar ketinggian 19.000 kaki. Ia hanya menggunakan jasa aileron untuk pendaratan darurat yang menegangkan tersebut. Sementara pendampingnya, Ko-pilot Heriyadi Gunawan berusaha menghidupkan mesin, memonitor kecepatan dan ketinggian serta standby horizon alat satu-satunya yang masih berfungsi di samping kompas.
Namun belum jelas pula apakah pada saat genting tersebut, masker oksigen keluar secara otomatis seperti seharusnya. Baik Captain Abdul Rozaq maupun Ko-pilot Heriyadi Gunawan dalam jumpa pers seminggu kemudian, tidak menjelaskan masalah tersebut. Mereka pun belum bisa menjelaskan penyebab mendadak flame out (mati)-nya kedua mesin turbofan CFM56-3C-1 buatan CFM International, pabrik patungan General Electric (AS) dengan Snecma (Prancis). Diharapkan dari kedua kotak hitam FDR dan CVR yang telah dikirim ke AS untuk dibaca rekamannya, pertanyaan ini dan sejumlah pertanyaan lain dapat terjawab.
Di set masuk ice condition
Menurut Abdul Rozaq, sebelum memasuki cuaca buruk saat menurun ke ketinggian 23.000 kaki, pesawat sudah di set untuk masuk cuaca turbulens dengan speed turbulens 280 knot. Sesuai prosedur, tanda seat-belt dinyalakan. “Anti-ice sudah on, jadi sudah siap untuk masuk ke icing condition,” jelasnya.
Angkasa memperkirakan, salah satu faktor kontributor penyebab tiba-tiba kedua mesinnya mati adalah icing. Kemungkinan air terlalu banyak masuk ke dalam mesin. Kemungkinan lain, kemasukan debu Gunung Merapi seperti yang pernah dialami oleh jumbo Boeing 747 British Airways. Saat itu keempat mesinnya dibuat mati oleh letusan debu Gunung Galunggung. Meski kecil kemungkinan, mungkinkah karena kontaminasi bahan bakarnya? Semua itu masih harus dibuktikan dan diuji serta diteliti untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya. Dalam Flight GA-421, sudah jelas faktor cuaca memegang peranan besar bagi pendaratan ditching GA-421.
Sambil menurun, kedua awak kokpit mengharapkan prosedur menghidupkan mesin dengan cara windmill start envelope dapat membantu menyalakan mesin lagi. Meski fan blade-nya berputar, tetap tidak bisa membantu menghidupkan mesin. Kemudian dicoba dengan bantuan APU (Auxiliary Power Unit/generator listrik). Ini pun menurut Abdul Rozaq tidak berhasil, malah akhirnya membuat sisa tenaga listrik hilang.
Karena masih ketinggian, Rozaq membuat satu putaran lagi untuk menurunkan ketinggian dan memposisikan pesawat pada arah downwind (sejajar dengan “landasan”). “Kemudian saya masuk. Entah bagaimana, saya pun tidak mengerti, sudah mendaratkan pesawat (di air). Tidak pakai roda pendarat, tidak pakai flap segala macam karena memang kondisinya begitu,” jelasnya.
“Waktu mendarat (dengan mendongakkan hidungnya ke atas sehingga bagian buntut menyentuh permukaan air lebih dahulu, Red), saya merasakan pesawat seperti kena benda, mungkin batu. Impaknya (dengan air), Alhamdullilah tidak sekeras impak hard landing sampai-sampai penumpang tidak merasakan (pendaratan hard landing). Kemudian terasa sebelah kiri (bawah) terkena batu yang membuat pesawat membelok ke kanan dimana ada tanggul dan pesawat langsung naik (di atasnya),” tutur Abdul Rozaq mengenai detik-detik pesawat mendarat dan berhenti.
Benturan dengan batu untuk kedua kali itu, membuat sobekan di perut kelas bisnis dimana seorang penumpang wanita terperosok di dalamnya. “Dari dalam lubang seperti sumur itu, kami semua membantunya keluar. Karena arusnya deras, jadi susah mengeluarkan ibu itu dari dalam lubang tersebut. Akhirnya kami berhasil mengeluarkan ibu itu,” papar captain-pilot yang mulai bekerja di Garuda sejak 16 Maret 1980.
Abdul Rozaq yang pernah menjadi kopilot jumbo Boeing 747-200 (1987) dan instruktur Boeing 737 (1998) serta Captain DC-9 (1990), lebih lanjut menceritakan bahwa setelah impak dengan air, pesawat sempat meluncur kira-kira 100 meter sebelum berhenti. Jarak henti dengan jembatan di hadapannya sekitar 300 atau 500 meter atau nyaris kalau tidak membentur batu, pesawat mungkin akan menabrak tiang-tiang jembatan. Kebetulan pula, tempat hentinya pesawat, airnya dangkal, hanya sepinggul dalamnya.
“Berhentinya pesawat pun pendek sekali, kalah itu namanya maximum brake. Begitu menyentuh (air), des, des, des langsung berhenti! Kira-kira 200 sampai 300 meter. Saya pernah menggunakan maximum brake, itu masih kalah karena masih agak jauh sebelum pesawat berhenti,” Abdul Rozaq memaparkan pengalamannya.
Kronologis ditching
Ko-pilot Heriyadi Gunawan kelahiran Kota Bandung, Jawa Barat, 28 Arpil 1955 yang juga berpembawaan kalem seperti Captain Abdul Rozaq, pernah mengalami flame out sebuah mesin Twin Otter Merpati yang diterbangkannya. Ko-pilot senior lulusan LPPU Curug Batch 23 (1976) ini, sebelum bergabung dengan Garuda pernah memegang pesawat Twin Otter dan pesawat turboprop Fokker F-27 Merpati Nusantara Airlines.
Suami Asmani dan ayah mahasiswi Sastra Jepang Unpad dan seorang putri kelas 2 SMU Al Azhar Bekasi, 10 tahun menjadi penerbang Merpati sebelum bergabung dengan Garuda pada 16 September 1982. Selain mengantungi type rating Boeing 737-300 (1997), sebelumnya ia telah pula meraih type rating pesawat badan lebar DC-10 (1988) dan MD-11 (1991).
Berikut adalah cuplikan dari laporan kronologis ditching GA-421 Heriyadi Gunawan yang telah mengantungi 17.137 jam terbang, 10.000 diantaranya kala ia berdinas di Merpati :
Pesawat B737 GA-421 berangkat dari Bandara Selaparang, Lombok, pada jam 08.32 UTC dengan komposisi dua awak kokpit dan empat awak kabin (minimum requirement). Mereka terdiri dari Captain-pilot Abdul Rozaq, Ko-pilot Harry Gunawan, awak kabin senior flight attendant Tuhu Wasono, senior flight attendant Frida Mersiati, junior flight attendant Riana Novita Boya dan junior flight attendant Santi Anggraeni.
Ketika berangkat dari Selaparang, kondisi cuaca sedikit mendung. Cuaca di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, dilaporkan sedikit berawan. Begitupun di rute perjalanan, berawan.
Pesawat GA-421 berangkat dengan membawa 54 penumpang dalam keadaan baik (tidak ada laporan kerusakan maupun complain yang lain).
Pada waktu pesawat naik menuju ketinggian jelajah 31.000 kaki, di sekitar point Entas dan Surabaya, terlihat banyak awan. Captain Abdul Rozaq meminta langsung menuju Lasem, dan dikabulkan oleh Bali Control, yang juga menambahkan apabila sudah clear of weather, clear direct to BA (Blora).
Saat pesawat menjelang point Lasem, Bali Control meminta pesawat GA-421 untuk segera meninggalkan ketinggian 31.000 kaki dan turun ke 28.000 kaki karena ada traffic (dari Jakarta). Instruksi ini dipatuhi oleh awak pesawat.
Menjelang pesawat akan mulai descend meninggalkan ketinggian 28.000 kaki, terlihat di weather radar banyak gumpalan-gumpalan awan Cumulunimbus di sekitar BA, Purwo (Purwodadi), dan SOC (Solo). Namun masih ada sedikit celah di antara awan-awan tersebut. Captain Abdul Rozaq yang bertindak sebagai pilot flying mengarahkan pesawat menuju BA (Blora), sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh Bali Control. Lalu pesawat mulai descend ke Fl 190 (19.000 kaki), atas perintah Bali Control.
Menjelang ketinggian 19.000 kaki (k.l. 23.000 kaki), Ko-pilot mengadakan kontak dengan Semarang Approach, dan mendapat clearance continue descend ke 9.000 kaki.
Pada saat itulah pesawat mulai memasuki awan Cb (Cumulunimbus). Sesaat kemudian mulai terasa guncangan-guncangan yang disertai hujan.
Kemudian guncangan-guncangan dirasakan semakin kuat dan hujan pun dirasakan semakin deras dan semakin kencang menerpa kaca depan pesawat. Namun pesawat sudah dipersiapkan untuk memasuki turbulence (speed 280 knots, engine ignition ke flight, engine anti ice on).
Pesawat berada di dalam awan kurang lebih lima menit. Tiba-tiba terdengar suara “Blep”, dibarengi hilangnya suara mesin pesawat. Captain berteriak: “Ada apa ini”, sambil menggerakkan thrust lever ke arah depan, namun tidak ada reaksi dari suara mesin.
Bersamaan dengan itu, Ko-pilot mengidentifikasi engine instrument. Terlihat N1, EGT (Exhaust Gas Temperature), Fuel Pressure menunjuk angka nol. Ia lalu memberitahu Captain bahwa terjadi both engine flame out.
Captain memerintahkan Ko-pilot untuk melakukan emergency check list dan langsung dikerjakan oleh Ko-pilot dengan melakukan memory item, yaitu menarik start lever ke posisi shut off.
Karena dari awal EGT menunjukkan angka nol, ketika Ko-pilot meletakkan start lever ke posisi idle detent, tidak ada reaksi apa-apa dari EGT mapun engine instrument lainnya.
Setelah menunggu sekitar satu menit tetap tidak ada reaksi dari mesin, Captain memerintahkan Ko-pilot untuk mengulang memory item.
Sambil menunggu reaksi dari mesin, Ko-pilot mencoba untuk menghidupkan APU. Namun tidak berhasil, malah keadaan semakin buruk dengan hilangnya sama sekali seluruh parameter (engine instrument, Captain dan F/O Flight Officer/Ko-pilot flight instrument, radio komunikasi, passenger address), sehingga sewaktu Ko-pilot meneriakkan “Mayday, Mayday, Mayday,” tidak ada suara sama sekali. Bersamaan dengan itu pesawat terus menurun hingga mencapai 14.000 kaki dan masih dalam kondisi IMC (Instrument Meteorological Condition atau masih dalam awan-cuaca buruk).
Pada saat itu Ko-pilot melihat celah awan. Ia melihat cuaca agak terang di sebelah selatan, lalu memberitahu Captain untuk mengarah ke sana. Tidak mungkin dalam keadaan seperti itu untuk mempertahankan ketinggian, karena Grid (kotak) Mora (Minimum off-route altitude) di sekitar daerah itu adalah 13.500 kaki, dan Captain mengarahkan pesawat ke arah itu sehingga dapat melihat ke luar. Kemudian Ko-pilot menyarankan untuk terus mengarah ke selatan. Menurut peta situasi, arah menuju selatan adalah yang paling safe karena menuju ke arah laut. Perhitungannya, andaikata melakukan pendaratan darurat, bisa di laut, paling tidak di pantai, jauh dari daerah pegunungan.
Ketika pesawat pada ketinggian kurang lebih 8.000 kaki, berangsur-angsur cuaca mulai cerah dan jarak pandang pun semakin baik. Ko-pilot mengenali daerah itu sebagai kota Klaten. Captain yang diberitahu, lalu mulai mencari daerah untuk melakukan pendaratan darurat. Ko-pilot berinisiatif memanggil awak kabin lewat PA (Passenger Address), namun tidak ada yang menyahut. Tiba-tiba Tuhu Wasono memasuki kokpit. Ia bertanya tentang keadaan pesawat.
Captain memberitahukan keadaan darurat dan memerintahkan agar seluruh awak pesawat melakukan persiapan pendaratan darurat. Captain-pun sudah menemukan dan menentukan akan melakukan pendaratan di sungai yang berada agak sebelah kiri dari track pesawat. Ko-pilot memberitahu bahwa di sebelah timur kali terdapat sawah yang luas. Namun Captain berpendapat bahwa akan lebih baik mendarat di sungai daripada di sawah. Usulan ini diterima oleh Ko-pilot.
Setelah segala upaya dilakukan untuk menyelamatkan pesawat tidak berhasil, saya merasa dekat sekali pada kematian. Saya sempat berdialog dengan Allah: “Ya Allah Dzat yang jiwaku berada di dalam genggamanmu, apabila Engkau akan memanggilku hari ini, saya ikhlas, saya pasrah, maafkanlah segala dosa saya, namun apabila ada jalan yang lebih baik dari itu, berilah kami yang terbaik.”
Setelah melakukan beberapa manuver untuk menghilangkan ketinggian serta mengarah ke sungai, sampailah pesawat B737 dengan nomor penerbangan GA-421, mendarat secara darurat di sungai yang kemudian diketahui bernama sungai anak Bengawan Solo yang terletak di dusun Serenan, Juwiring, Klaten.
Setelah pesawat berhenti di sungai, segera diadakan evakuasi dibantu oleh penduduk sekitar lokasi. Captain menghubungi pihak Garuda, memberitahukan keadaan tersebut melalui handphone pribadi yang memang berfungsi dengan baik. Sementara Ko-pilot membantu awak kabin untuk mengevakuasi seluruh penumpang.
Hampir mirip
Itulah penerbangan kedua kali Heriyadi Gunawan bersama Abdul Rozaq yang berakhir di Sungai Bengawan Solo, kira-kira 20 kilometer dari Kota Solo. Mungkin yang hampir mirip dengan Flight GA-421 adalah penerbangan Boeing 737-300 milik TACA, maskapai Argentina, Mei 1988. Pesawat juga sewaktu menurunkan ketinggian, terperangkap dalam jenis awan sama dengan hujan es lebat hingga mengalami flame out kedua mesinnya. Pesawat terpaksa melakukan pendaratan darurat dekat New Orleans, AS. Tidak satu pun dari 41 penumpangnya cidera.
Menurut Flight International (22-28/1/02), setelah incident tersebut, pabrik mesin Snecma International memperingatkan para pilot untuk tidak men-set mesin pada posisi idle sewaktu melewati badai hujan dan petir. Namun dalam pemberitaan tersebut tidak dijelaskan dimana pesawat TACA mendarat darurat.
“Seperti Allah mengaturnya semua . Kalau pesawat belok ke kiri (waktu di air) akan lebih parah lagi, soalnya jauh dari penduduk karena di situ seperti hutan. Tapi kok ke kanan beloknya, di mana langsung ada jalan raya, mobil bisa masuk ke tepinya. Dan pas betul, juga ada mobil bak terbuka dan dekat puskesmas. Itu cepat menolong mereka yang dievakuasi. Lalu ada rumah kosong, ada kamar yang dijadikan tempat evakuasi barang,” ujar captain-pilot.
“Rupanya Allah telah mengaturnya,” ucap Captain Abdul Rozaq memanjatkan doa dan rasa syukur serta memuji kebesaranNya. (*)