Monthly Archives: February 2012

Singapore Airshow 2012

Setelah menunggu sebulan akhirnya sampai juga ke perhelatan besar 2 tahunan pameran Dirgantara (yg katanya) terbesar ke 3 didunia setelah Paris Airshow Le Bourget dan Farnborough Inggris, dan terbesar pertama di Asia.

Bersama Teman² dari Angkasa Reader Community kemarin 15 Februari 2012 aku dan suami berangkat ke Singapore Airshow 2012.

Setelah menyelesaikan semua urusan imigrasi, perjalanan kami dimulai dengan menumpang Skytrain dari Terminal 1 tempat kami mendarat menuju ke Terminal 3 dimana shuttle bus menuju lokasi Airshow menunggu untuk mengantarkan para tamu ke tempat pameran dirgantara tersebut. Dengan membayar S$ 5 perorang kami diantar oleh shuttle bus bandara menuju lokasi. Cukup jauh, memakan waktu kurang lebih 15 menit dari Terminal 3. Mengelilingi hampir separuh dari Changi Airport itu sendiri.

Kegembiraan sudah dimulai saat kami masih berada diatas shuttle bus. Rupanya Dynamic show sudah dimulai. Di Udara sang Falcon F-16 sudah menari nari dengan lincahnya menunjukan kebolehan terbang dengan berbagai manuver yg sulit. Di susul oleh F-15E strike Eagle yg memamerkan kebolehan dengan tak kalah hebohnya …

Baru saja kami turun dari Bus, Si Tambun GlobeMaster C-17 terbang rendah menyapa kami. Melihat badan besarnya mengangkasa membuat mataku tak ingin berhenti memandang ke atas.

Selama di ruang registrasi, suara menderu mesin jet tempur diangkasa itu membuatku ingin cepat² keluar untuk bisa segera melihat gesitnya gerakan manuver dua jagoan tempur itu.

Sayang, begitu selesai registrasi penampilan mereka sudah berakhir. Dan dilanjutkan oleh the Rebel 300 single prop aircraft dari Blair Aerosport yang menari nari lincah.

Tidak kalah hebohnya penampilan the Roulettes dari Royal Australian airforce.

Dengan berakhirnya the Roulettes maka berakhir juga dynamic show. Dan itu artinya siap mulai berjalan kaki untuk menyusuri luasnya area pameran Static Aircraft Display.

Mataku langsung tertuju ke burung besi yg dipajang didepan Lockheed Martin. Mock Up F-35 JSF Lightning II berdiri dengan gagahnya. Lalu menyusul pesawat² tanpa awak yg bentuknya hampir seperti mainan anak² …

Sebuah A-330-MRTT Jet Tambun yg digunakan oleh Royal Airforce sebagai Air Tanker berdiri dengan gagahnya.

Dari kejauhan 3 buah burung besi raksasa milik US Air force terparkir agak menyendiri diujung. Sang Tambun Globemaster C-17 nampaknya hanya untuk dynamic show karena tidak ada di antara ketiga pesawat yang dipamerkan, E-3B Sentry yg digunakan sebagai Airborne Warning And Control System dan sebuah KC-135 Stratotanker yang digunakan untuk pengisian bahan bakar di udara, dan sebuah pesawat milik US Navy.

Singapore sendiri memajang hampir semua pesawat tempurnya. F-15SG, F-16D. Heli garang AH-64 Apache (akhirnya bisa liat langsung wujudnya), S-70B Marine Helicopter, G550 AEW, Hermes 450n, Heron 1 dan S-70B. Mau foto di cockpit F-16 atau F-15SG milik Singapore ini ? Ada team fotografi yg sudah siap mengambil gambar. Tapi antri ya ! Karena ga sedikit yg pengen diambil gambarnya bak pilot tempur.

Sikorsky S-92 the Legacy of Heroes terpajang dengan penuh tanda tangan dihampir seluruh bagian. Setelah melakukan perjalanan panjangnya melalui berbagai negara, termasuk mampir di Malaysia, S-92 Sikorsky mampir ke Singapore Airshow untuk menyapa para tamu. Kita bisa masuk ke dalam pesawat, berbincang bincang dengan para kru dan pilotnya juga membubuhkan tanda tangan kita di badan pesawat.Yang beruntung juga mendapatkan mini medical kit sebagai souvenir.

Boeing 787 juga parkir dengan gagahnya. Bagi pengunjung yg ingin melihat interior dalam pesawat, kita diijinkan masuk secara bergantian.

Beberapa helikopter milik Bell juga dipamerkan. Susi Air dari Indonesia ikut memamerkan pesawatnya.

Teriknya matahari tidak menyurutkan semangat untuk tetap berjalan melihat burung² besi yg dipamerkan disana. Jumlahnya tidak terlalu banyak bila dibandingkan dengan apa yg kulihat dan kuingat di Indonesia Airshow 96.

Secara keseluruhan apa yg dipamerkan di Singapore airshow tidak terlalu istimewa. Mungkin yg paling istimewa adalah kedatangan F-35 dan A-330 MRTT sementara yg lainnya terkesan biasa. Karena di Indonesia Airshow terakhir begitu istimewa dengan hadirnya SR-71 Blackbird dan demo udara dari Red Arrows, Elang Biru dan the Roulettes yg membuat pengunjung berdecak kagum.

Exhibition Hall memamerkan banyak produk dari hampir seluruh belahan dunia. Karena kami datang di Trade Day, pengunjung berdasi memang memenuhi Exhibition Hall yang siap bertransaksi. Berbagai presentasi digelar untuk memamerkan produk.

Puas. Satu kata yang mungkin cukup mengungkapkan semuanya kegembiraan hari ini. Walau hanya 1 hari tapi kumanfaatkan semaksimal mungkin menghabiskannya di area pameran. Terima kasih teman – teman Angkasa Reader Community yang sudah mengajak kita jalan – jalan. Di tunggu program berikutnya …

Categories: Uncategorized | Leave a comment

Bengawan Solo Dijadikan Landasan GA-421

Mungkin kalau mendarat di sawah atau mencoba meneruskan sisa luncuran pesawat ke Yogyakarta, kota tujuannya, atau berusaha mendarat darurat di Kota Solo, cerita Flight GA-421 Boeing 737-300 Garuda Indonesia akan lain. Justru karena Captain-in-command Abdul Rozaq memutuskan ditching di Sungai Bengawan Solo, 99 persen jiwa penumpang GA-421 terselamatkan.

Saya buat sungai (Bengawan Solo) seolah-olah runway-nya,” cerita captain asal Kudus, Jawa Tengah, 29 Maret mendatang akan genap 46 tahun kepada wartawan Angkasa Dudi Sudibyo, tentang penerbangan dramatis-traumatis Ampenan-Yogyakarta-Jakarta yang tak sempat ia tuntaskan, enam hari setelah kejadiannya. Rabu sore 16 Januari 2002 sekitar pukul 16.25 WIB, warga sekitar sungai dikejutkan oleh kehadiran tiba-tiba sosok Boeing 737 yang mendarat di sungai.

Badan pesawat intact utuh! Keutuhan tubuh pesawat itulah yang membuat empat awak pesawat dan 54 penumpang, termasuk tiga bayi terselamatkan. Hanya seorang pramugari, Santi Anggraeni (26) yang sudah mengantungi 4.156 jam terbang sejak direkrut Garuda Desember 1995, tewas akibat tersedot keluar badan pesawat bersama jump seat-nya. Akibat impak cukup keras antara bagian bawah perut belakang pesawat dengan air dimana kebetulan ada benda (diperkirakan batu besar), merobek bagian tersebut. Sekejab tiba-tiba tekanan udara hilang dalam kabin pesawat. Perubahan mendadak itu, menyedot keluar Santi. Pantry maupun barang dalam ruang kargo ikut pula tersedot keluar. Jenazah Santi ditemukan sekitar 1 kilometer dari lokasi pesawat.

Sebelum ditching di Sungai Bengawan Solo, Captain Abdul Rozaq, lulusan LPPU Curug Batch 28 1980, membuat dua kali circuit sebelum mendaratkan pesawat. “Pada usaha pertama (mendarat), saya lihat tidak saja dua tapi ada beberapa jembatan di sungai itu. Ada (bagian sungai) yang lurus antara dua jembatan, kira-kira panjangnya 1.500 meter. Itulah yang saya jadikan tempat pendaratan,” ujar suami Istiqomah, pramugari Garuda satu course di Kemayoran, yang disuntingnya sekitar18 tahun silam. Mereka dikaruniai lima anak. Anak sulung, 17 tahun, ikut jejak ayahnya (SMP Islam Al Ma;ruf, Kudus, Jateng 1973) mengikuti pendidikan di salah satu pesantren di Bogor. Yang bungsu baru 15 bulan.

Menurut pengakuan Abdul Rozaq yang telah membukukan 14.020 jam dan 30 menit jam terbang dimana 5.600 jam di antaranya pada pesawat Boeing 737-300, kemudi pesawat amat berat dan ia telah mempersiapkan diri agar tidak terkena kemudinya itu sewaktu pendaratan. Rupanya Heriyadi Gunawan dengan side-burn (cambang rambut) mirip penyanyi tenar Elvis Presley, kurang siap sehingga mulutnya dibuat memar terkena alat tersebut. Flap maupun roda pendarat tidak pula digunakan. “Khawatir kalau roda diturunkan, selain drag, juga kemungkinan terkena batu sungai akan menjadi lebih fatal nanti,” alasannya.

Sesuai prosedur, Rozaq mencurahkan konsentrasi mengemudikan dan mendaratkan pesawat 80 ton itu sejak mesin pesawat flame out sekitar ketinggian 19.000 kaki. Ia hanya menggunakan jasa aileron untuk pendaratan darurat yang menegangkan tersebut. Sementara pendampingnya, Ko-pilot Heriyadi Gunawan berusaha menghidupkan mesin, memonitor kecepatan dan ketinggian serta standby horizon alat satu-satunya yang masih berfungsi di samping kompas.

Namun belum jelas pula apakah pada saat genting tersebut, masker oksigen keluar secara otomatis seperti seharusnya. Baik Captain Abdul Rozaq maupun Ko-pilot Heriyadi Gunawan dalam jumpa pers seminggu kemudian, tidak menjelaskan masalah tersebut. Mereka pun belum bisa menjelaskan penyebab mendadak flame out (mati)-nya kedua mesin turbofan CFM56-3C-1 buatan CFM International, pabrik patungan General Electric (AS) dengan Snecma (Prancis). Diharapkan dari kedua kotak hitam FDR dan CVR yang telah dikirim ke AS untuk dibaca rekamannya, pertanyaan ini dan sejumlah pertanyaan lain dapat terjawab.

Di set masuk ice condition

Menurut Abdul Rozaq, sebelum memasuki cuaca buruk saat menurun ke ketinggian 23.000 kaki, pesawat sudah di set untuk masuk cuaca turbulens dengan speed turbulens 280 knot. Sesuai prosedur, tanda seat-belt dinyalakan. “Anti-ice sudah on, jadi sudah siap untuk masuk ke icing condition,” jelasnya.

Angkasa memperkirakan, salah satu faktor kontributor penyebab tiba-tiba kedua mesinnya mati adalah icing. Kemungkinan air terlalu banyak masuk ke dalam mesin. Kemungkinan lain, kemasukan debu Gunung Merapi seperti yang pernah dialami oleh jumbo Boeing 747 British Airways. Saat itu keempat mesinnya dibuat mati oleh letusan debu Gunung Galunggung. Meski kecil kemungkinan, mungkinkah karena kontaminasi bahan bakarnya? Semua itu masih harus dibuktikan dan diuji serta diteliti untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya. Dalam Flight GA-421, sudah jelas faktor cuaca memegang peranan besar bagi pendaratan ditching GA-421.

Sambil menurun, kedua awak kokpit mengharapkan prosedur menghidupkan mesin dengan cara windmill start envelope dapat membantu menyalakan mesin lagi. Meski fan blade-nya berputar, tetap tidak bisa membantu menghidupkan mesin. Kemudian dicoba dengan bantuan APU (Auxiliary Power Unit/generator listrik). Ini pun menurut Abdul Rozaq tidak berhasil, malah akhirnya membuat sisa tenaga listrik hilang.

Karena masih ketinggian, Rozaq membuat satu putaran lagi untuk menurunkan ketinggian dan memposisikan pesawat pada arah downwind (sejajar dengan “landasan”). “Kemudian saya masuk. Entah bagaimana, saya pun tidak mengerti, sudah mendaratkan pesawat (di air). Tidak pakai roda pendarat, tidak pakai flap segala macam karena memang kondisinya begitu,” jelasnya.

“Waktu mendarat (dengan mendongakkan hidungnya ke atas sehingga bagian buntut menyentuh permukaan air lebih dahulu, Red), saya merasakan pesawat seperti kena benda, mungkin batu. Impaknya (dengan air), Alhamdullilah tidak sekeras impak hard landing sampai-sampai penumpang tidak merasakan (pendaratan hard landing). Kemudian terasa sebelah kiri (bawah) terkena batu yang membuat pesawat membelok ke kanan dimana ada tanggul dan pesawat langsung naik (di atasnya),” tutur Abdul Rozaq mengenai detik-detik pesawat mendarat dan berhenti.

Benturan dengan batu untuk kedua kali itu, membuat sobekan di perut kelas bisnis dimana seorang penumpang wanita terperosok di dalamnya. “Dari dalam lubang seperti sumur itu, kami semua membantunya keluar. Karena arusnya deras, jadi susah mengeluarkan ibu itu dari dalam lubang tersebut. Akhirnya kami berhasil mengeluarkan ibu itu,” papar captain-pilot yang mulai bekerja di Garuda sejak 16 Maret 1980.

Abdul Rozaq yang pernah menjadi kopilot jumbo Boeing 747-200 (1987) dan instruktur Boeing 737 (1998) serta Captain DC-9 (1990), lebih lanjut menceritakan bahwa setelah impak dengan air, pesawat sempat meluncur kira-kira 100 meter sebelum berhenti. Jarak henti dengan jembatan di hadapannya sekitar 300 atau 500 meter atau nyaris kalau tidak membentur batu, pesawat mungkin akan menabrak tiang-tiang jembatan. Kebetulan pula, tempat hentinya pesawat, airnya dangkal, hanya sepinggul dalamnya.

“Berhentinya pesawat pun pendek sekali, kalah itu namanya maximum brake. Begitu menyentuh (air), des, des, des langsung berhenti! Kira-kira 200 sampai 300 meter. Saya pernah menggunakan maximum brake, itu masih kalah karena masih agak jauh sebelum pesawat berhenti,” Abdul Rozaq memaparkan pengalamannya.

Kronologis ditching

Ko-pilot Heriyadi Gunawan kelahiran Kota Bandung, Jawa Barat, 28 Arpil 1955 yang juga berpembawaan kalem seperti Captain Abdul Rozaq, pernah mengalami flame out sebuah mesin Twin Otter Merpati yang diterbangkannya. Ko-pilot senior lulusan LPPU Curug Batch 23 (1976) ini, sebelum bergabung dengan Garuda pernah memegang pesawat Twin Otter dan pesawat turboprop Fokker F-27 Merpati Nusantara Airlines.

Suami Asmani dan ayah mahasiswi Sastra Jepang Unpad dan seorang putri kelas 2 SMU Al Azhar Bekasi, 10 tahun menjadi penerbang Merpati sebelum bergabung dengan Garuda pada 16 September 1982. Selain mengantungi type rating Boeing 737-300 (1997), sebelumnya ia telah pula meraih type rating pesawat badan lebar DC-10 (1988) dan MD-11 (1991).

Berikut adalah cuplikan dari laporan kronologis ditching GA-421 Heriyadi Gunawan yang telah mengantungi 17.137 jam terbang, 10.000 diantaranya kala ia berdinas di Merpati :

Pesawat B737 GA-421 berangkat dari Bandara Selaparang, Lombok, pada jam 08.32 UTC dengan komposisi dua awak kokpit dan empat awak kabin (minimum requirement). Mereka terdiri dari Captain-pilot Abdul Rozaq, Ko-pilot Harry Gunawan, awak kabin senior flight attendant Tuhu Wasono, senior flight attendant Frida Mersiati, junior flight attendant Riana Novita Boya dan junior flight attendant Santi Anggraeni.

Ketika berangkat dari Selaparang, kondisi cuaca sedikit mendung. Cuaca di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, dilaporkan sedikit berawan. Begitupun di rute perjalanan, berawan.

Pesawat GA-421 berangkat dengan membawa 54 penumpang dalam keadaan baik (tidak ada laporan kerusakan maupun complain yang lain).

Pada waktu pesawat naik menuju ketinggian jelajah 31.000 kaki, di sekitar point Entas dan Surabaya, terlihat banyak awan. Captain Abdul Rozaq meminta langsung menuju Lasem, dan dikabulkan oleh Bali Control, yang juga menambahkan apabila sudah clear of weather, clear direct to BA (Blora).

Saat pesawat menjelang point Lasem, Bali Control meminta pesawat GA-421 untuk segera meninggalkan ketinggian 31.000 kaki dan turun ke 28.000 kaki karena ada traffic (dari Jakarta). Instruksi ini dipatuhi oleh awak pesawat.

Menjelang pesawat akan mulai descend meninggalkan ketinggian 28.000 kaki, terlihat di weather radar banyak gumpalan-gumpalan awan Cumulunimbus di sekitar BA, Purwo (Purwodadi), dan SOC (Solo). Namun masih ada sedikit celah di antara awan-awan tersebut. Captain Abdul Rozaq yang bertindak sebagai pilot flying mengarahkan pesawat menuju BA (Blora), sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh Bali Control. Lalu pesawat mulai descend ke Fl 190 (19.000 kaki), atas perintah Bali Control.

Menjelang ketinggian 19.000 kaki (k.l. 23.000 kaki), Ko-pilot mengadakan kontak dengan Semarang Approach, dan mendapat clearance continue descend ke 9.000 kaki.

Pada saat itulah pesawat mulai memasuki awan Cb (Cumulunimbus). Sesaat kemudian mulai terasa guncangan-guncangan yang disertai hujan.

Kemudian guncangan-guncangan dirasakan semakin kuat dan hujan pun dirasakan semakin deras dan semakin kencang menerpa kaca depan pesawat. Namun pesawat sudah dipersiapkan untuk memasuki turbulence (speed 280 knots, engine ignition ke flight, engine anti ice on).

Pesawat berada di dalam awan kurang lebih lima menit. Tiba-tiba terdengar suara “Blep”, dibarengi hilangnya suara mesin pesawat. Captain berteriak: “Ada apa ini”, sambil menggerakkan thrust lever ke arah depan, namun tidak ada reaksi dari suara mesin.

Bersamaan dengan itu, Ko-pilot mengidentifikasi engine instrument. Terlihat N1, EGT (Exhaust Gas Temperature), Fuel Pressure menunjuk angka nol. Ia lalu memberitahu Captain bahwa terjadi both engine flame out.

Captain memerintahkan Ko-pilot untuk melakukan emergency check list dan langsung dikerjakan oleh Ko-pilot dengan melakukan memory item, yaitu menarik start lever ke posisi shut off.

Karena dari awal EGT menunjukkan angka nol, ketika Ko-pilot meletakkan start lever ke posisi idle detent, tidak ada reaksi apa-apa dari EGT mapun engine instrument lainnya.

Setelah menunggu sekitar satu menit tetap tidak ada reaksi dari mesin, Captain memerintahkan Ko-pilot untuk mengulang memory item.

Sambil menunggu reaksi dari mesin, Ko-pilot mencoba untuk menghidupkan APU. Namun tidak berhasil, malah keadaan semakin buruk dengan hilangnya sama sekali seluruh parameter (engine instrument, Captain dan F/O Flight Officer/Ko-pilot flight instrument, radio komunikasi, passenger address), sehingga sewaktu Ko-pilot meneriakkan “Mayday, Mayday, Mayday,” tidak ada suara sama sekali. Bersamaan dengan itu pesawat terus menurun hingga mencapai 14.000 kaki dan masih dalam kondisi IMC (Instrument Meteorological Condition atau masih dalam awan-cuaca buruk).

Pada saat itu Ko-pilot melihat celah awan. Ia melihat cuaca agak terang di sebelah selatan, lalu memberitahu Captain untuk mengarah ke sana. Tidak mungkin dalam keadaan seperti itu untuk mempertahankan ketinggian, karena Grid (kotak) Mora (Minimum off-route altitude) di sekitar daerah itu adalah 13.500 kaki, dan Captain mengarahkan pesawat ke arah itu sehingga dapat melihat ke luar. Kemudian Ko-pilot menyarankan untuk terus mengarah ke selatan. Menurut peta situasi, arah menuju selatan adalah yang paling safe karena menuju ke arah laut. Perhitungannya, andaikata melakukan pendaratan darurat, bisa di laut, paling tidak di pantai, jauh dari daerah pegunungan.

Ketika pesawat pada ketinggian kurang lebih 8.000 kaki, berangsur-angsur cuaca mulai cerah dan jarak pandang pun semakin baik. Ko-pilot mengenali daerah itu sebagai kota Klaten. Captain yang diberitahu, lalu mulai mencari daerah untuk melakukan pendaratan darurat. Ko-pilot berinisiatif memanggil awak kabin lewat PA (Passenger Address), namun tidak ada yang menyahut. Tiba-tiba Tuhu Wasono memasuki kokpit. Ia bertanya tentang keadaan pesawat.

Captain memberitahukan keadaan darurat dan memerintahkan agar seluruh awak pesawat melakukan persiapan pendaratan darurat. Captain-pun sudah menemukan dan menentukan akan melakukan pendaratan di sungai yang berada agak sebelah kiri dari track pesawat. Ko-pilot memberitahu bahwa di sebelah timur kali terdapat sawah yang luas. Namun Captain berpendapat bahwa akan lebih baik mendarat di sungai daripada di sawah. Usulan ini diterima oleh Ko-pilot.

Setelah segala upaya dilakukan untuk menyelamatkan pesawat tidak berhasil, saya merasa dekat sekali pada kematian. Saya sempat berdialog dengan Allah: “Ya Allah Dzat yang jiwaku berada di dalam genggamanmu, apabila Engkau akan memanggilku hari ini, saya ikhlas, saya pasrah, maafkanlah segala dosa saya, namun apabila ada jalan yang lebih baik dari itu, berilah kami yang terbaik.”

Setelah melakukan beberapa manuver untuk menghilangkan ketinggian serta mengarah ke sungai, sampailah pesawat B737 dengan nomor penerbangan GA-421, mendarat secara darurat di sungai yang kemudian diketahui bernama sungai anak Bengawan Solo yang terletak di dusun Serenan, Juwiring, Klaten.

Setelah pesawat berhenti di sungai, segera diadakan evakuasi dibantu oleh penduduk sekitar lokasi. Captain menghubungi pihak Garuda, memberitahukan keadaan tersebut melalui handphone pribadi yang memang berfungsi dengan baik. Sementara Ko-pilot membantu awak kabin untuk mengevakuasi seluruh penumpang.

Hampir mirip

Itulah penerbangan kedua kali Heriyadi Gunawan bersama Abdul Rozaq yang berakhir di Sungai Bengawan Solo, kira-kira 20 kilometer dari Kota Solo. Mungkin yang hampir mirip dengan Flight GA-421 adalah penerbangan Boeing 737-300 milik TACA, maskapai Argentina, Mei 1988. Pesawat juga sewaktu menurunkan ketinggian, terperangkap dalam jenis awan sama dengan hujan es lebat hingga mengalami flame out kedua mesinnya. Pesawat terpaksa melakukan pendaratan darurat dekat New Orleans, AS. Tidak satu pun dari 41 penumpangnya cidera.

Menurut Flight International (22-28/1/02), setelah incident tersebut, pabrik mesin Snecma International memperingatkan para pilot untuk tidak men-set mesin pada posisi idle sewaktu melewati badai hujan dan petir. Namun dalam pemberitaan tersebut tidak dijelaskan dimana pesawat TACA mendarat darurat.

“Seperti Allah mengaturnya semua . Kalau pesawat belok ke kiri (waktu di air) akan lebih parah lagi, soalnya jauh dari penduduk karena di situ seperti hutan. Tapi kok ke kanan beloknya, di mana langsung ada jalan raya, mobil bisa masuk ke tepinya. Dan pas betul, juga ada mobil bak terbuka dan dekat puskesmas. Itu cepat menolong mereka yang dievakuasi. Lalu ada rumah kosong, ada kamar yang dijadikan tempat evakuasi barang,” ujar captain-pilot.

“Rupanya Allah telah mengaturnya,” ucap Captain Abdul Rozaq memanjatkan doa dan rasa syukur serta memuji kebesaranNya. (*)

Categories: dunia penerbangan | Leave a comment

ROYAL AUSTRALIAN REGIMENT

Royal Australian Regiment sudah bersimbah darah sejak tahun 1951 ketika mereka dikirim dalam perang Korea. Salah satu operasi terbesar mereka ada adalah BATTLE OF KAPYONG. Sejak 2005, seiring reorganisasi AD Australia yang mengusung konsep “Hardened and Networed Army”, Resimen ini mengalami penyesuaian.

Elemen 4 RAR dikirim ke Afghanistan tahun 2005 sebagai bagian dari Australian Special Forces Task Group.

Sebagai Line infantry, pantaslah Royal Australian Regiment mengusung moto DUTY FIRST.

Merupakan induk bagi batalion reguler AD Australia yang pada tingkat tertinggi menjelma menjadi Royal Australian Infantry Corps. Saat ini RAR berkekuatan 8 batalion, masing – masing 1st Battalion (1 RAR) Light Infantry di Townsville, 2nd Battalion  (2 RAR) Light Infantry di Townsville, 3rd Battalion (3 RAR) Parachute Infantry di Holsworthy,  4th Battalion (4 RAR) Commando di Holsworthy, 5th Battalion (5 RAR) Mechanised Infantry di Palmerston, 6th Battalion (6 RAR) Motorized Infantry di Enoggera, 7th Battalion (7 RAR) Mechanized Infantry di Adelaide, 8th/9th Battalion (8/9) Motorized Infantry di Enoggera.

Tahun 2005, komposisi batalion ini mengalami perubahan menyusul reorganisasi di tubuh AD Australia dengan mengadopsi konsep Hardened and Networked Army. Perubahan mencakup komposisi, spesialisasi hingga markas batalion. Seperti 3rd Battalion, dikonversi dari batalion parasut menjadi mechanized.

Tahun 2007 AD Australia melakukan reorganisasi umum dan masih terus bergulir hingga saat ini. Dari program ini diharapkan AD mampu mengoperasikan enam grup ke dalam tiga brigade. Masing – masing brigade dengan komposisi light, motorized dan mechanized.

Keberadaan RAR di lingkungan AD Australia bermula dari batalion 65th, 66th, dan 67th yang muncul pada akhir 1945. Pasukan ini sebenarnya merupakan unit lain dari Second Australian  Imperial Force yang merupakan bentuk kontribusi Australia terhadap British Commonwealth Occupation Force di Jepang. Dua tahun kemudian di putuskan bahwa batalion ini menjadi unit infantri pertama Australia yang pernah ada. Battalion 65th, 66th, dan 67th kemudian di resimenisasi untuk membentuk Australian Regiment pada 23 November. Penyebutan nomer Batalion kemudian di rubah menjadi Battalion 1st, 2nd, dan 3rd. Kata ROYAL ditambahkan pada 3 Oktober 1949.

Sejak dibentuk, RAR sudah berpartisipasi dalam berbagai konflik yang pernah pecah di dunia. Pada 1951, 3 RAR di kirim ke Korea dan terlibat dalam Battle of Kapyong. Perang Vietnam juga menyeret RAR sejak tahun 1966 dan terlibat dalam sejumlah operasi besar seperti Battle of Long Tan dan Tet Offensive. Setelah itu nyaris tidak ada operasi besar yang melibatkan RAR kecuali pada tahun 1993, elemen dari 1 RAR dikirim ke Baidoa, Somalia. Dan terakhir RAR diberangkatkan ke Timor Timur pada 1999 hingga 2004 menyusul pecahnya konflik di TimTim hingga akhirnya lepas dari Indonesia. Secara khusus elemen RAR bertugas menjaga perbatasan Timor Timur dan Indonesia.

Konflik paling mutakhir yang di ikuti RAR adalah invasi Amerika dan sekutunya ke Irak dan Afghanistan . Satu peleton komando dari 4 RAR bersama kompi senapan dari resimen lainnya dikirim ke Baghdad dengan tugas spesifik mengamankan kedutaan Australia di Irak. Sementara elemen 4 RAR dikirim ke Afghanistan pada tahun 2005 sebagai bagian dari Australian Special Forces Task Group. Setahun kemudian 3 RAR battlegroup dan kompi dari 4 RAR di kirim ke Timor Leste sebagai bagian dari Operation Astute yang bertugas menciptakan keamanan bagi warga di ibukota Dili. Tugas yang sama diberikan kepada dua kompi senapan 1 RAR dan 3 RAR yang dikirim ke Kepulauan Solomon pada awal 2006.

Categories: dunia militer | Leave a comment

10th Mountain Division, Climb to Glory !

Divisi ini disiapkan untuk dikirim ke mandala operasi guna melaksanakan operasi tempur, stabilisasi, operasi rekonstruksi dan dukungan, baik untuk kepentingan multinasional maupun Amerika Serikat. Di Afganistan, divisi ini membuktikan kemampuan beroperasi di medan pegunungan.

Divisi ini juga sempat dimanfaatkan sebagai isu politik oleh George W. Bush tahun 2000 dengan menyatakan bahwa divisi ini “ not ready for duty “

10th Mountain Division memiliki motto ‘Climb to Glory’

Lahir 15 Juli 1943, 10th Mountain termasuk terlambat memasuki kancah PD II. Kelahirannya di picu oleh kisah sukses pasukan gunung Finlandia yang menghentikan invasi Soviet pada negeri itu November 1939.

Masih ingat keberanian prajurit 10th Mountain Division ketika menyelamatkan Satuan Tugas Ranger dalam kontak senjata mematikan di Mogadishu, Somalia tahun 1992. Begitu juga ketika konflik pecah di Port au Prince, Haiti, September 1994 ?

Brigade Pertama Divisi yang mendaratkan 54 helikopter dan sekitar 2000 prajurit di Port – Au – Prince. Menurut catatan sejarah AS, inilah operasi air assault terbesar AD dari kapal induk sejak Doolittle Raid di Jepang saat PD II.

Terhitung sejak di non aktifkan tahun 1958, secara khusus AS tidak lagi memiliki pasukan berkualifikasi perang gunung. Baru pada tahun 1980, Presiden Ronald Reagan mengeluarkan kebijakan penambahan kekuatan tempur AS dengan mengaktifkan kembali pasukan ini. Tepatnya 11 September 1984, AD AS mengumumkan bahwa Fort Drum, New York menjadi rumah baru bagi pasukan yang di aktifkan kembali ini, 10th Light Infantry Division. Secara resmi unit ini di aktifkan kembali  pada tanggal 13 Februari 1985. Sejak itu pula namanya berganti menjadi  10th Mountain Division (Light Infantry). Karena keunikannya, 10th Mountain dikelompokan sebagai pasukan reaksi cepat seperti halnya 82nd dan 101st Airborne Division. 10th Mountain Division dalam hirarki AD AS dikategorikan sebagai salah satu divisi yang bisa digerakan dalam waktu cepat (rapid development).

Rancangan pasukan gunung datang dari kenyataan bahwa mereka dilatih dan dilengkapi untuk mekanis sudah menjadi bagian dari divisi AD AS, pasukan gunung tidak diharuskan menjadi sama dengan sejawatnya. 10th Mountain sedari  awal sudah di tetapkan mampu beroperasi di pegungungan tanpa dukungan mekanis. Semua prajurit dilatih untuk bergerak secara mandiri. Jika diibaratkan peralatan ski, bagi 10th Mountain tak ubahnya parasut bagi 82nd Airborne division. Mereka juga dilatih memanjat tebing dengan tali dan piton. Juga mampu bergerak dengan cepat di medan – medan yang dihindari unit lain kecuali unit airborne. Meski bersama –sama berpredikat Light Infantry, 10th Mountain bersenjata lebih berat dari pasukan airborne.

Soal peralatan, 10th Mountain mengoperasikan helikopter UH-60 Black Hawk dan CH-47 Chinook. Diperlengkapi dengan night vision system dan sistem komunikasi digital FBCB2 (Force XXI Battle Command, Brigade and Below ) ‘tactical internet’. Peralatan ini mampu membuat penggunanya bergerak seperti siluman dari arah yang tak terduga. Sebagai konsekuensi perampingan di tubuh Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, 10th Mountain Division dilebur kedalam XVIII Airborne Corps di Fort Bragg.

Melihat kelahirannya 15 Juli 1943, 10th Mountain termasuk terlambat memasuki kancahPerang Dunia II. Kelahirannya dipicu oleh kisah sukses pasukan gunung Finlandia menghentikan Soviet saat menginvasi negeri itu November 1939. Pasukan ski Finlandia inilah yang menginspirasi Charles Minot (Minnie) Dole, Presiden National Ski Patrol. September 1940, Dole diterima Jendral George C. Marshall, Army Chief of Staff yang kemudian merestui pembentukan pasukan gunung. Element 87th Regiment sempat diikut sertakan dalam Assault Landing di Kiska, 15 – 17 Agustus 1943. Kegagalan selalu menjadi guru terbaik. Di Camp Hale, Colorado, markas 10th Light Division (Alpine) nama pertama pasukan ini, dibedah segala kekurangannya. Akhirnya 6 November 1944, pasukan ini disempurnakan menjadi  10th Mountain Division. Saat diaktifkan sebagai divisi, 10th Mountain diperkuat oleh 3 resimen infanteri. Masing – masing 85th, 86th, 87th Infantry Regiments.

Usai perang dunia, divisi ini di nonaktifkan pada 30 November 1945. Vakum hingga kembali diaktifkan pada 1 Juli 1948 setelah dirancang ulang sebagai 10th Infantry Division. 10 tahun kemudian pada tanggal 14 Juni 1958, Divisi ini kembali dipensiunkan.

Categories: dunia militer | Leave a comment

Blog at WordPress.com.